Sabtu, 30 November 2019

ANALGETIK

ANALGETIK

Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum) (Tjay, 2007).
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. nyeri merupakan suatu perasaan seubjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45°C (Tjay, 2007).
Mekanisme Nyeri Ada 4 tahap dalam proses terjadinya nyeri (pathways nyeri), yaitu:
1. Proses Transduksi
Proses dimana stimulus  noksius diubah ke impuls elektrikal pada  ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli)  seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung - ujung saraf perifer (nerve ending ) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri,merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor- reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya  zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
2. Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spino thalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ- organ yang lebih
dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut- serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron  dengan saraf- saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri  dan dirasakan sebagai persepsi  nyeri.
3. Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri   yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara si stem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.
4. Proses Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.
Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) pada mana nyeri dirasakan untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat orang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan (Tjay, 2007). Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni :
a. Analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura dan kanker (Tjay, 2007).
b. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk kelompok ini
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium yang berasal dari getah Papaverum somniferum yang mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya, morfin, codein, tebain, dan papaverin (Dewoto, 2008). Sering terjadi penyalahgunaan analgesik opioid karena adanya efek euforia dan ketagihan sehingga penggunaannya pun dibatasi.
Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi dalam bebrapa kelompok, yakni :
a. Parasetamol
b. Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat
c. Penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll
d. Derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin
e. Derivat-pirazolon : propifenazon, isopropilaminofenazon, dan metamizol
f. Lainnya : benzidamin (Tantum) (Tjay, 2007).

I. Analgetik Narkotik (analgetik opioid)
Analgetik narkotik (analgetik opioid) adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi, dan kolik usus atau ginjal. Analgetik narkotik sering pula digunakan untuk pramedikasi anestesi, bersama-sama dengan atropin, untuk mengontrol sekresi.
Analgetik opioid merupakan golongan obat yang memiliki sifat seperti opium/morfin. Sifat dari analgesik opioid yaitu menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan fisik. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mendapatkan analgesik ideal: Potensi analgesik yg sama kuat dengan morfin. Tanpa bahaya adiksi:
- Obat yang berasal dari opium-morfin
- Senyawa semisintetik morfin
- Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin
Analgetik opioid mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat kuat dengan titik kerja yang terletak di susunan syaraf pusat (SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.
Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri. Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan dinorfin.
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuk ke otak, dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal.
Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim.
Ada beberapa jenis Reseptor opioid  yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε.  (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioid-receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan e-receptor, namum belum jelas fungsinya).

Reseptor μ memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik dan berhubungan dengan toleransi terhadap μ  opioid. reseptor κ telah diketahui dan berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor δ dan reseptor  κ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin, sedangkan reseptor  μ selektif untuk opioid analgesic.

Mekanisme umum
Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.
Efek-efek yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya: Analgesik, medullary effect, Miosis, immune function and Histamine, Antitussive effect, Hypothalamic effect GI effect.
Efek samping  yang dapat  terjadi yaitu Toleransi dan ketergantungan, Depresi pernafasan, Hipotensi, dll.
Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, analgetik opioid dibagi menjadi:
- Agonis opioid menyerupai morfin (pd reseptor μ, κ). Contoh: Morfin, fentanil.
- Antagonis opioid. Contoh: Nalokson.
- Menurunkan ambang nyeri pd pasien yg ambang nyerinya tinggi.
- Opioid dengan kerja campur. Contoh: Nalorfin, pentazosin, buprenorfin,
  malbufin, butorfanol.

Obat-obat Opioid Analgesics (Nama Generik)
Alfentanil, Benzonatate, Buprenorphine, Butorphanol, Codeine, Dextromethorphan Dezocine, Difenoxin, Dihydrocodeine, Diphenoxylate, Fentanyl, Heroin Hydrocodone, Hydromorphone, LAAM, Levopropoxyphene, Levorphanol Loperamide, Meperidine, Methadone, Morphine, Nalbuphine, Nalmefene, Naloxone, Naltrexone, Noscapine Oxycodone, Oxymorphone, Pentazocine, Propoxyphene, Sufentanil.
1. Agonis Kuat
a. Fenantren
Morfin, Hidromorfin, dan oksimorfon merupakan agonis kuat yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri hebat. Heroin adalah agonis yang kuat dan bekerja cepat.
b. Fenilheptilamin
Metadon mempunyai profil sama dengan morfin tetapi masa kerjanya sedikit lebih panjang. Dalam keadaan nyeri akut, potensi analgesik dan efikasinya paling tidak sebanding dengan morfin. Levometadil asetat merupakan Turunan Metadon yang mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada metadon.
c. Fenilpiperidin
Meperidin dan Fentanil adalah yang paling luas digunakan diantara opioid sintetik yang ada, mempunyai efek antimuskarinik.Subgrup fentanil yang sekarang terdiri dari sufentanil dan alventanil.
d. Morfinan
Levorfanol adalah preparat analgesik opioid sintetik yang kerjanya mirip dengan morfin namun manfaatnya tidak menguntungkan dari morfin.

2. Agonis Ringan sampai sedang
a. Fenantren
Kodein, Oksikodoa, dihidrokodein, dan hidrokodon, semuanya mempunyai efikasi yang kurang dibanding morfin, atau efek sampingnya membatasi dosis maksimum yang dapat diberikan untuk memperoleh efek analgesik yang sebanding dengan morfin, penggunaan dengan kombinasi dalam formulasi-formulasi yang mengandung aspirin atau asetaminofen dan obat-obat lain.
b. Fenilheptilamin
Propoksifen aktivitas analgesiknya rendah, misalnya 120 mg propoksifen = 60 mg kodein.
c. Fenilpiperidin
Difenoksilat dan metabolitnya, difenoksin digunakan sebagai obat diare dan tidak untuk analgesik, digunakan sebagai kombinasi dengan atropin. Loperamid adalah turunan fenilpiperidin yang digunakan untuk mengontrol diare. Potensi disalahgunakan rendah karena kemampuannya rendah untuk masuk ke dalam otak.

3. Mixed Opioid Agonist–Antagonists or Partial Agonists
a. Fenantren
Nalbufin adalah agonis kuat reseptor kapa dan antagonis reseptor mu. Pada dosis tinggi terjadi depresi pernafasan. Buprenorfin adalah turunan fenantren yang kuat dan bekerja lama dan merupakan suatu agonis parsial reseptor mu. Penggunaan klinik lebih banyak menyerupai nalbufin, mendetoksifikasi dan mempertahankan penderita penyalahgunaan heroin.
b. Morfinan
Butorfanol efek analgesik ekivalen dengan nalbufin dan buprenorfin, tetapi menghasilkan efek sedasi pada dosis ekivalen, merupakan suatu agonis reseptor kapa.
c. Benzomorfan
Pentazosin adalah agonis reseptor kapa dengan sifat-sifat antagonis reseptor mu yang lemah. Obat ini merupakan preparat campuran agonis-antagonis yang tertua. Dezosin adalah senyawa yang struktur kimianya berhubungan dengan pentazosin, mempunyai aktivitas yang kuat terhadap reseptor mu dan kurang bereaksi dengan reseptor kappa,mempunyai efikasi yang ekivalen dengan morfin.

4. Antagonis Opioid
Nalokson dan Naltrekson merupakan turunan morfin dengan gugusan pengganti pada posisi N, mempunyai afinitas tinggi untuk berikatan dengan reseptor mu, dan afinitasnya kurang berikatan dengan reseptor lain.Penggunan utama nalokson adalah untuk pengubatan keracunan akut opioid, masa kerja nalokson relatif singkat, Sedangkan naltrekson masa kerjanya panjang, untuk program pengobatan penderita pecandu. Individu yang mengalami depresi akut akibat kelebihan dosis suatu opioid, antagonis akan efektif menormalkan pernapasan, tingkat kesadaran, ukuran pupil aktivitas usus, dan lain-lain.

5. Drugs Used Predominantly as Antitussives
Analgesic opioid adalah obat yang paling efektif dari semua analgesic yang ada untuk menekan batuk. Efek ini dicapai pada dosis dibawah dari dosis yang diperlukan untuk menghasilkan efek analgesik. Contoh obatnya adalah Dekstrometrofan, Kodein, Levopropoksifen.

Analgetik Non-narkotik
Analgetik non-narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan sampai moderat, sehingga sering disebut analgetik ringan. Analgetik non-narkotik bekerja menghambat enzim siklooksigenase dalam rangka menekan sintesis prostaglandin yang berperan dalam stimulus nyeri dan demam. Karena itu kebanyakan analgetik non-narkotik juga bekerja antipiretik. Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik/Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunanaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
Berdasarkan struktur kimia, analgetik non narkotik dibagi 7 kelompok antara lain:
1. Turunan Asam Salisilat
Asam salisilat mempunyai aktivitas analgesik antipiretik dan antirematik. Obat ini bisa digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada nyeri kepala, nyeri otot dan nyeri yang berhubungan dengan rematik. Penggunaan asam salisilat tidak pernah dilakukan secara per oral karena terlalu toksik. Efek samping nya adalah iritasi lambung karena gugus karboksilat bersifat asam. Senyawa-senyawa turunan asam salisilat seperti aspirin, salisilamid, diflunisal lebih banyak digunakan.
Untuk meningkatkan aktivitas analgesik antipiretik dan mengurangi efek sampingnya dapat dilakukan dengan 4 jalan yaitu :
a. Mengubah gugus karboksil melalui pembentukan garam, ester maupun amida. Contoh : metil salisilat, asetaminosalol, natrium salisilat, kolin salisilat, magnesium salisilat & salisilamid
b. Substitusi pada gugus hidroksil.
Contoh : aspirin (asam aseti salisilat), salisil.
c. Modifikasi pada gugus karboksil dan hidroksil. Berdasarkan pada prinsip salol, senyawa secara in vivo akan terhidrolisis menjadi aspirin.
Contoh : aluminium aspirin dan karbetil salisilat.
d. Memasukkan gugus OH pada cincin aromatik atau menambah gugus lain. Contoh : diflunisal, flufenisal, meseklazon.

Hubungan struktur dan aktivitas pada turunan asam salisilat :
1. Senyawa yang aktif sebagai antiradang adalah anion salisilat. Gugus karboksilat penting untuk aktivitas dengan gugus hidroksil harus berdekatan.
2. Turunan halogen seperti 5-klorsalisilat dapat menambah aktivitas namun memiliki toksisitas yang lebih besar.
3. Pemasukan gugus amino pada posisi 4 akan menyebabkan hilangnya aktivitas.
4. Pemasukan gugus metil pada posisi 3 akan menyebabkan metabolisme gugus asetil menjadi lebih lambat.
5. Penambahan gugus aril pada posisi 5 akan meningkatkan aktivitas.
6. Adanya gugus difluorofenil pada posisi para dengan karboksilat (misal diflunisal) akan menambah aktivitas analgesik, memperpanjang masa kerja obat dan menghilangkan efek samping (iritasi saluran cerna).
7. Iritasi lambung pada aspirin ditujukan pada gugus karboksilat sehingga esterifikasi gugus akan mengurangi efek iritasi.

2. Turunan Anilin & para Aminofenol
Turunan anilin dan p-aminofenol memiliki aktivitas sebagai analgesik antipiretik namun tidak memiliki aktivitas sebagai antiradang dan antirematik. Efek samping yang sering terjadi adalah methaemoglobin dan hepatotoksik. Contoh : asetaminofen, asetanilid, dan fenasetin.
Hubungan struktur aktivitas pada turunan anilin dan p-aminofenol :
1. Anilin memiliki aktivitas antipiretik yang tinggi namun efek sampingnya juga besar karena menyebabkan methaemoglobin (Hb dalam bentuk ferri, tidak dapat berfungsi membawa oksigen).
2. Substitusi pada gugus amino mengurangi kebasaan sehingga mengurangi aktivitas dan efek sampingnya.
3. Turunan aromatik pada asetanilid dan benzanilid sukar larut dalam air, tidak dapat membawa cairan tubuh ke reseptor sehingga mengurangi aktivitasnya. Salisilanilid meskipun tidak memiliki efek antipiretik namun dapat digunakan sebagai antijamur.
4. Para-aminofenol merupakan produk metabolit dari anilin dan memiliki toksisitas lebih rendah namun masih terlalu toksik untuk digunakan sebagai obat sehingga perlu modifikasi strukturnya.
5. Asetilasi pada gugus amino pada p-aminofenol dapat mengurangi efek samping.
6. Esterifikasi pada gugus hidroksi dengan metil (anisidin), etil (fenetidin) meningkatkan efek analgesik namun karena masih mengandung amina bebas, dapat menyebakan methaemoglobin.
7. Pemasukan gugus polar, gugus karboksilat ke dalam inti benzen, akan menghilangkan aktivitas.
8. Etil eter dari asetominophen (fenasetin) mempunyai aktivitas analgesik cukup tinggi namun penggunaan jagka panjang dapat mengakibatkan methaemoglobin, kerusakan ginjal, dan karsinogenik.
9. Ester salisilat pada asetaminofen (fenetsal) mengurangi efek toksis dan emnambah aktivitas analgesik.

3. Turunan 5-Pirazolon & Pirazolidindion
Mengurangi rasa skt nyeri kepala, nyeri spasma usus, ginjal, sal empedu&urin, neuralgia, migrain,dismenerhu, nyeri gigi, nyeri rematik. Efek samping : agranulositosis pada bbrp kasus dpt berakibat fatal.
Contoh : antipirin, amidopirin, dan metampiron.
a. Antipirin (fenazon)
Mempunyai aktivitas analegsik antipiretik setara dengan asetanilid. Efek samping agranulositosis lebih besar dan memiliki efek paralisis pada saraf sensorik dan motorik sehingga digunakan untuk anestesi lokal dan vasokontriksi pada pengobatan laringitis dan rinitis. Dosis larutan 5-15 %
b. Amidopirin
Memiliki aktivitas analgesik setara antipirin. Absorbsi obat dalam saluran cerna lebih cepat dengan waktu paro 2-3 jam dan 25-30% terikat dengan protein plasma.
c. Metampiron
Metampiron merupakan analgesik yang cukup populer di Indonesia. Metapiron terabsorbsi cepat dalam saluran cerna dan cepat termetabolisme di hati. Dosis yang digunakan adalah 50mg 4 kali sehari.

Pada turunan pirazolidindion memiliki gugus keto pada C3 sehingga dapat membentuk enol aktif yang mudah terionisasi. Hubungan struktur aktivitas turunan pirazolidindion
1. Substitusi atom H pada C4 dengan gugus metil menghilangkan aktivitas antiradang karena senyawa tidak dapat membentuk gugus enol.
2. Penggantian 1 atom N pada inti pirazolidindion dengan atom O, pemasukan gugus metil dan halogen pada cincin benzen dan penggantian gugus n-butil dengan gugus alil atau propol tidak memengaruhi aktivitas antiradang.
3. Penggantian inti benzen dengan siklopentan atau sikloheksan akan
menghilangkan aktivitas.
4. Penigkatan keasaman akan mengurangi efek antiradang dan meningkatkan efek urikosurik.

4. Turunan Asam N-Arilantranilat
Turunan asam N-antranilat merupakan analog nitrogen dari asam salisilat. Turunan ini memiliki antiradang pada pengobatan rematik, mengurangi rasa nyeri pada nyeri ringan dan moderat. Efek samping iritasi saluran cerna, diare, mual, nyeri abdominal, anemia, agranulositosis, dan trombositopenia. Contoh : Asam mefenamat, asam flufenamat, asam meklofenamat
Hubungan struktur aktivitas turunan asam antranilat :
1. Aktivitas lebih tinggi jika pada inti benzen yang memunyai atom N dengan posisi  
    2,3, dan 6.
2. Senyawa yang aktif adalah turunan senyawa 2,3 disubstitusi.
3. Memilikiaktivitas lebih tinggi jika gugus pada N-aril di luar koplanaritas asam
    antranilat.
4. Struktur tidak planar tersebut sesuai dengan reseptor hipotetik antiradang.
5. Adanya substitusi pada o-metil pada asam mefenamat dan o-klor pada asam
    meklofenamat meningkatkan aktivitas analgesik.
6. Penggantian atom N pada asam mefenamat dengan senyawa isosterik seperti
    O,S, CH2 menrurunkan aktivitas.

5. Turunan Asam Arilasetat & Heteroarilasetat
Turunan asam arilasetat dan heteroarilasetat memiliki aktivitas cukup tinggi namun efek samping pada saluran cerna cukup besar. Contoh : diklofenak, ibuprofen, ketoprofen, fenoprofen, namoksirat, dan fenbufen
Hubungan struktur aktivitas turunan asam arilasetat dan heteroarilasetat
1. Mempunyai gugus karboksil atau ekivalennya seperti asam enolat, asma hidroksamat, sulfonamida, tetrasol yang terpisah oleh 1 atom C dari inti aromatik datar.
2. Adanya gugus α-metil pada rantai samping asetat dapat meningkatkan aktivitas antiradang. Contoh : ibufenak tidak mempunyai gugus α-metil dan bersifat hepatotoksik. Makin panjang rantai C, aktivitas semakin rendah.
3. Adanya α-substitusi senyawa bersifat optis aktif dan kadang-kadang isomer 1 lebih aktif dibanding yanglain. Konfigurasi yang aktif adalah bentuk isomer S. Contoh : S(+) ibuprofen lebih aktif dibanding isomer (-). Sedangkan isomer (+) dan (-) fenoprofen mempunyai aktivitas yang sama.
4. Mempunyai gugus hidrofob yang terikat pada C inti aromatik pada posisi meta atau para dari gugus asetat.
5. Turunan ester dan amida juga memunyai aktivitas antiradang karena secara in vivo dihidrolisis menjadi bentuk asamnya.

6. Turunan Oksikam
Turunan ini umumnya bersifat asam, mempunyai efek antiradang, analgesik, antipiretik, efektif untuk pengobatan simtomatik rematik atritis, osteoartritis, dan antipirai.
Contoh : piroksisam & tenoksisam.
a.Piroksisam
Piroksisam memilikiefek analgesik, antirematik, antiradang setara dengan indometasin dengan masa kerja yang cukup panjang. Piroksisam memiliki efek samping iritasi saluran cerna yang cukup besar. Piroksisam terserap dengan baik pada saluran cerna, 99% obat terikat pada protein plasma. Kadar tertinggi plasma pada 3-5 jam setelah pemberian oral dengan waktu paro plasma 30-60 jam.
b.Tenoksisam
Tenoksisam mempunyai aktivitas antiradang , analgesik-antipiretik dan juga menghambat agregasi platelet. Tenoksisam terutama digunakan untuk mengurangi rasa nyeri akibat keradangan dan kelainan degeneratif pada sistem otot rangka. Efek iritasi saluran cerna cukup besar dengan waktu paro 72 jam.


Daftar Pustaka
Dewoto, H. R. (2008) ‘Analgesik Opioid dan Antagonis dalam’, Farmakologi dan Therapi. 5th edn. Edited by S. G. Gunawan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,p. 210.
Tjay dan K .Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta; PT Elex Media Komputindo.

Permasalahan: :
1. Apakah perbedaan mendasar antara Analgetik Narkotik & Analgetik Non- 

   narkotik ?
2. Bagaimanakah Mekanisme terjadinya nyeri ?
3. Bagaimanakah Pengaruh Analgetik secara Farmakokinetik ?
4. Bagaimanakah Pengaruh Analgetik secara Farmakodinamik ?



14 komentar:

  1. Baik inamas saya akan mwncoba mwnjawab pertanyaan no 1.
    Mekanisme terjadinya nyeri adalah sebagai berikut rangsangan(mekanik, termal atau Kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di hampir setiap jaringan tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk impuls yang di hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami).

    BalasHapus
  2. Terimakasih saudara Kemas., terimakasih sudah membantu menjawab pertanyaan blog saya. bantuan anda akan saya simpan untuk melengkapi materi blog saya :)

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Terimakasih indah telah membantu membahas permasalahan pada materi blog saya.

    BalasHapus
  5. Mekanisme terjadinya nyeri:

    Proses terjadinya nyeri atau biasa disebut reaksi inflamasi. Setiap orang sudah pasti pernah merasakan reaksi nyeri, baik itu rangsangan nyeri akibat adanya benturan benda tumpul maupun sayatan benda tajam. Namun tahukah anda bagaimana proses terjadinya nyeri didalam tubuh serta apa efek yang timbul akibat nyeri tersebut? Pada kesempatan ini Apotekeranda.com akan mengupas secara rinci tentang mekanisme kerja inflamasi atau proses terbentuknya nyeri pada luka.

    Defenisi nyeri/inflamasi
    Reaksi Inflamasi adalah suatu respon jaringan akibat adanya rangsangan fisik maupun kimiawi yang bersifat merusak jaringan tubuh. Akibat adanya rangsangan tersebut, mediator inflamasi/nyeri seperti histamin, serotonin, bradikinin maupun prostaglandin terlepas didalam tubuh.

    Tanda Nyeri Inflamasi
    Dengan keluarnya mediator tersebut, tubuh akan mendapatkan rangsangan panas, nyeri, merah, bengkak serta adanya gangguan fungsi pada area jaringan yang rusak. Kerusakan jaringan yang mengakibatkan gangguan sel yang terkait dengan inflamasi akan mempengaruhi membra sel higga leukosit mengeluarkan enzim lisosomal dan asam arakhidonat. Prostaglandin merupakan hasil metabolisme dari asam arakhidonat. Adanya reaksi nyeri/inflamasi merupakan bentuk pertahanan diri tubuh terhadap rangsangan benda asing, namun hal ini akan bersifat berbahaya apabila berlangsung dalam waktu lama yang akan memunculkan penyakit nyeri kronis.

    Mekanisme nyeri/inflamasi
    Proses terjadinya nyeri/inflamasi berlangsung selama 3 tahap/fase. Tahapan tersebut antara lain:

    -inflamasi akut yaitu respon awal terhadap cidera jaringan)
    -Respon imun yaitu aktifnya sejumlah sel yang menimbulkan kekebalan untuk merespon organisme asing
    -Inflamasi kronis
    Respon inflamasi ditandai dengan adanya pelebaran pembuluh darah serta sekresi cairan dan leukosit di daerah sekitar inflamasi. Akibat respon tersebut memunculkan gejala area nyeri berwarna kemerahan atau biasa disebtu erythema).



    Selama proses inflamasi berlangsung, terdapat 3 hal penting yang terjadi yaitu:
    -Adanya peningkatan suplai aliran darah ke tempat benda asing, mikroorganisme atau jaringan yang rusak.
    -Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler akibat pengerutan sel endotel
    -Fagosit keluar dari pembuluh darah menuju area rangsangan benda asing tersebut.
    Ketika inflamasi terjadi, rangsang iritan atau cidera jaringan akan memicu pelepasan mediator-mediator inflamasi. Respon yang muncul dari senyawa mediator tersebut mengakibatkan vasokontriksi/penyempitan sementara pada arteriola yang diikuti oleh pelebaran pembuluh darah, venula dan pembuluh limfa serta dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler pada membran sel.

    Mediator-mediator inflamasi dalam keadaan normal akan didegradasi setelah dilepaskan dan diproduksi secara serempak jika ada picuan. Selama proses inflamasi berlangsung, diproduksi sinyal untuk menghentikan reaksi inflamasi. Mekanisme ini meliputi perubahan produksi mediator proinflamasi menjadi mediator antiinflamasi antara lain antiinflamasi lipoxin, antiinflamasi sitokin, transforming growth factor-β (TGF-β) dan perubahan kolinergik yang menghambat produksi TNF pada makrofag. Sistem tersebut dibutuhkan untuk mencegah terjadinya inflamasi yang berlebihan yang dapat memicu kerusakan jaringan.

    Inflamasi diketahui berkontribusi pada patofisiologi dari banyak penyakit kronis. Ketika proses inflamasi tersebut berlangsung secara terus menerus akan menyebabkan kerusakan jaringan setempat dan fungsi jaringan menjadi terganggu bahkan dapat meluas sehingga mengakibatkan kerusakan organ. Proses inilah yang kemudian akan mengakibatkan berbagai macam penyakit. Interaksi antara sel dengan sistem imun bawaan, sistem imun adaptif, dan mediator-mediator inflamasi menginisiasi terjadinya inflamasi yang mendasari banyak penyakit pada organ.

    BalasHapus
  6. Terimakasih saudara reza telah membantu membantu membahas materi saya

    BalasHapus
  7. artikel yang sangat bermanfaat agstrian. Saya mencoba untuk menjawab permasalahan no.1.

    Menurut saya perbedaan mendasar analgetik narkotik dan non narkotik adalah pada bahan dasar yang digunakan. Pada analgetik narkotik digunakan bahan dasar berasal dari opioid sedangkan pada analgetik non narkotik digunakan bahan dasar yang berasal dari sintesis bahan-bahan non opioid

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih telah membantu permasalahan blog saya saudara abi

      Hapus
  8. Halo bang agstrian, saya akan mencoba menjawab permasalahan no.1. Analgetik terdiri dari 2 jenis diantaranya :
    1. Analgetik narkotik
    Bersifat aditif dan bekerja pada Sistem Saraf Pusat, biasanya dilakukan utk pembiusan pasien farctura dan kanker . Contoh : morfin, kodein, heroin
    2. Analgetik non-narkotik
    Bersifat tidak aditif dan bekerja pada Sistem Saraf Perifer, selain itu berkhasiat juga sebagai antipiretik. Contoh : asetosal, asam mefenamat, paracetamol

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih telah membantu membahas permasalahan blog saya saudari Chassa

      Hapus
  9. saya akan menjawab pertanyaan no 1 salah satu yang membedakan yaitu efek samping yaitu analgetik narkotika menyebabkan efek candu atau ketergantungan, dan efek yang lebih berat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih saudari yesi atas pembahasannya terkait permasalahan nomor.1

      Hapus