ANALGETIK
Analgetika
atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum) (Tjay,
2007).
Nyeri
adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan
(ancaman) kerusakan jaringan. keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri,
misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau memperhebatnya, tetapi
dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. nyeri merupakan suatu
perasaan seubjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap
orang. batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45°C (Tjay, 2007).
Mekanisme
Nyeri Ada 4 tahap dalam proses terjadinya nyeri (pathways nyeri), yaitu:
1.
Proses Transduksi
Proses
dimana stimulus noksius diubah ke impuls
elektrikal pada ujung saraf. Suatu
stimuli kuat (noxion stimuli) seperti
tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan
diterima ujung - ujung saraf perifer (nerve ending ) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri,merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan
jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan
sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan
sensitisasi dari reseptor- reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin,
serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai
sensitisasi perifer.
2.
Proses Transmisi
Proses
penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi
melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana
impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus
spino thalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus
spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ- organ yang lebih
dalam
dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.
Selain itu juga serabut- serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf- saraf berdiameter besar dan
bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di
cortex cerebri dan dirasakan sebagai
persepsi nyeri.
3.
Proses Modulasi
Proses
perubahan transmisi nyeri yang terjadi
disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi
antara si stem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden
yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin,
noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk
menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang
menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.
4.
Proses Persepsi
Hasil
akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan
modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang
dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan
korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.
Ambang
nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) pada mana nyeri dirasakan untuk
pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat
orang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan (Tjay,
2007). Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi
melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya
ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot.
Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan
zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat
mengakibatkan reaksi
Atas
dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni
:
a. Analgetika
narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada
fractura dan kanker (Tjay, 2007).
b. Analgetika
perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk kelompok ini
Analgesik
opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium yang berasal
dari getah Papaverum somniferum yang mengandung sekitar 20 jenis alkaloid
diantaranya, morfin, codein, tebain, dan papaverin (Dewoto, 2008). Sering
terjadi penyalahgunaan analgesik opioid karena adanya efek euforia dan
ketagihan sehingga penggunaannya pun dibatasi.
Secara
kimiawi analgetika perifer dapat dibagi dalam bebrapa kelompok, yakni :
a. Parasetamol
b. Salisilat :
asetosal, salisilamida, dan benorilat
c. Penghambat
prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll
d. Derivat-antranilat
: mefenaminat, glafenin
e. Derivat-pirazolon
: propifenazon, isopropilaminofenazon, dan metamizol
f. Lainnya :
benzidamin (Tantum) (Tjay, 2007).
I.
Analgetik Narkotik (analgetik opioid)
Analgetik
narkotik (analgetik opioid) adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem
saraf pusat secara selektif. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang
moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker,
serangan jantung akut, sesudah operasi, dan kolik usus atau ginjal. Analgetik
narkotik sering pula digunakan untuk pramedikasi anestesi, bersama-sama dengan
atropin, untuk mengontrol sekresi.
Analgetik
opioid merupakan golongan obat yang memiliki sifat seperti opium/morfin. Sifat
dari analgesik opioid yaitu menimbulkan adiksi: habituasi dan ketergantungan
fisik. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mendapatkan analgesik ideal:
Potensi analgesik yg sama kuat dengan morfin. Tanpa bahaya adiksi:
- Obat yang
berasal dari opium-morfin
- Senyawa
semisintetik morfin
- Senyawa sintetik
yang berefek seperti morfin
Analgetik
opioid mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat kuat dengan titik kerja yang
terletak di susunan syaraf pusat (SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran dan
menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Analgetik opioid ini merupakan pereda
nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.
Tubuh
sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama
dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls
nyeri. Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan,
misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru
disadari beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem
endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa senyawa yang termasuk dalam
penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan dinorfin.
Opioid
endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi
hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan,
dan pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur
homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuk ke otak, dan bertindak
juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal.
Baik
opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda
dengan analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim.
Ada
beberapa jenis Reseptor opioid yang
telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε. (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ
receptor, initially called the opioid-receptor-like 1 (ORL-1) receptor or
“orphan” opioid receptor dan e-receptor, namum belum jelas fungsinya).
Reseptor
μ memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik
dari opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor
δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik
dan berhubungan dengan toleransi terhadap μ
opioid. reseptor κ telah diketahui dan berperan dalam efek analgesik,
miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum
tulang belakang. Reseptor δ dan reseptor
κ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin, sedangkan
reseptor μ selektif untuk opioid
analgesic.
Mekanisme
umum
Terikatnya
opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel,
selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion
K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah
terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar
nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang
nyeri terhambat.
Efek-efek
yang ditimbulkan dari perangsangan reseptor opioid diantaranya: Analgesik,
medullary effect, Miosis, immune function and Histamine, Antitussive effect,
Hypothalamic effect GI effect.
Efek
samping yang dapat terjadi yaitu Toleransi dan ketergantungan,
Depresi pernafasan, Hipotensi, dll.
Atas
dasar kerjanya pada reseptor opioid, analgetik opioid dibagi menjadi:
- Agonis opioid
menyerupai morfin (pd reseptor μ, κ). Contoh: Morfin, fentanil.
- Antagonis
opioid. Contoh: Nalokson.
- Menurunkan
ambang nyeri pd pasien yg ambang nyerinya tinggi.
- Opioid dengan
kerja campur. Contoh: Nalorfin, pentazosin, buprenorfin,
malbufin, butorfanol.
Obat-obat
Opioid Analgesics (Nama Generik)
Alfentanil,
Benzonatate, Buprenorphine, Butorphanol, Codeine, Dextromethorphan Dezocine,
Difenoxin, Dihydrocodeine, Diphenoxylate, Fentanyl, Heroin Hydrocodone,
Hydromorphone, LAAM, Levopropoxyphene, Levorphanol Loperamide, Meperidine,
Methadone, Morphine, Nalbuphine, Nalmefene, Naloxone, Naltrexone, Noscapine
Oxycodone, Oxymorphone, Pentazocine, Propoxyphene, Sufentanil.
1. Agonis Kuat
a.
Fenantren
Morfin, Hidromorfin, dan
oksimorfon merupakan agonis kuat yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri hebat.
Heroin adalah agonis yang kuat dan bekerja cepat.
b.
Fenilheptilamin
Metadon mempunyai profil sama
dengan morfin tetapi masa kerjanya sedikit lebih panjang. Dalam keadaan nyeri
akut, potensi analgesik dan efikasinya paling tidak sebanding dengan morfin.
Levometadil asetat merupakan Turunan Metadon yang mempunyai waktu paruh lebih
panjang daripada metadon.
c.
Fenilpiperidin
Meperidin dan Fentanil adalah
yang paling luas digunakan diantara opioid sintetik yang ada, mempunyai efek
antimuskarinik.Subgrup fentanil yang sekarang terdiri dari sufentanil dan
alventanil.
d.
Morfinan
Levorfanol adalah preparat
analgesik opioid sintetik yang kerjanya mirip dengan morfin namun manfaatnya
tidak menguntungkan dari morfin.
2. Agonis Ringan
sampai sedang
a.
Fenantren
Kodein, Oksikodoa,
dihidrokodein, dan hidrokodon, semuanya mempunyai efikasi yang kurang dibanding
morfin, atau efek sampingnya membatasi dosis maksimum yang dapat diberikan
untuk memperoleh efek analgesik yang sebanding dengan morfin, penggunaan dengan
kombinasi dalam formulasi-formulasi yang mengandung aspirin atau asetaminofen
dan obat-obat lain.
b.
Fenilheptilamin
Propoksifen aktivitas
analgesiknya rendah, misalnya 120 mg propoksifen = 60 mg kodein.
c.
Fenilpiperidin
Difenoksilat dan metabolitnya,
difenoksin digunakan sebagai obat diare dan tidak untuk analgesik, digunakan
sebagai kombinasi dengan atropin. Loperamid adalah turunan fenilpiperidin yang
digunakan untuk mengontrol diare. Potensi disalahgunakan rendah karena
kemampuannya rendah untuk masuk ke dalam otak.
3. Mixed Opioid
Agonist–Antagonists or Partial Agonists
a.
Fenantren
Nalbufin adalah agonis kuat
reseptor kapa dan antagonis reseptor mu. Pada dosis tinggi terjadi depresi
pernafasan. Buprenorfin adalah turunan fenantren yang kuat dan bekerja lama dan
merupakan suatu agonis parsial reseptor mu. Penggunaan klinik lebih banyak
menyerupai nalbufin, mendetoksifikasi dan mempertahankan penderita
penyalahgunaan heroin.
b.
Morfinan
Butorfanol efek analgesik ekivalen
dengan nalbufin dan buprenorfin, tetapi menghasilkan efek sedasi pada dosis
ekivalen, merupakan suatu agonis reseptor kapa.
c.
Benzomorfan
Pentazosin adalah agonis
reseptor kapa dengan sifat-sifat antagonis reseptor mu yang lemah. Obat ini
merupakan preparat campuran agonis-antagonis yang tertua. Dezosin adalah
senyawa yang struktur kimianya berhubungan dengan pentazosin, mempunyai
aktivitas yang kuat terhadap reseptor mu dan kurang bereaksi dengan reseptor
kappa,mempunyai efikasi yang ekivalen dengan morfin.
4. Antagonis
Opioid
Nalokson
dan Naltrekson merupakan turunan morfin dengan gugusan pengganti pada posisi N,
mempunyai afinitas tinggi untuk berikatan dengan reseptor mu, dan afinitasnya
kurang berikatan dengan reseptor lain.Penggunan utama nalokson adalah untuk
pengubatan keracunan akut opioid, masa kerja nalokson relatif singkat,
Sedangkan naltrekson masa kerjanya panjang, untuk program pengobatan penderita
pecandu. Individu yang mengalami depresi akut akibat kelebihan dosis suatu
opioid, antagonis akan efektif menormalkan pernapasan, tingkat kesadaran,
ukuran pupil aktivitas usus, dan lain-lain.
5. Drugs Used
Predominantly as Antitussives
Analgesic
opioid adalah obat yang paling efektif dari semua analgesic yang ada untuk
menekan batuk. Efek ini dicapai pada dosis dibawah dari dosis yang diperlukan
untuk menghasilkan efek analgesik. Contoh obatnya adalah Dekstrometrofan,
Kodein, Levopropoksifen.
Analgetik
Non-narkotik
Analgetik
non-narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan sampai moderat,
sehingga sering disebut analgetik ringan. Analgetik non-narkotik bekerja
menghambat enzim siklooksigenase dalam rangka menekan sintesis prostaglandin
yang berperan dalam stimulus nyeri dan demam. Karena itu kebanyakan analgetik
non-narkotik juga bekerja antipiretik. Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik
atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau meringankan
rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga
efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik/Obat Analgesik
Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda
halnya dengan penggunanaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
Berdasarkan
struktur kimia, analgetik non narkotik dibagi 7 kelompok antara lain:
1.
Turunan Asam Salisilat
Asam
salisilat mempunyai aktivitas analgesik antipiretik dan antirematik. Obat ini
bisa digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada nyeri kepala, nyeri otot dan
nyeri yang berhubungan dengan rematik. Penggunaan asam salisilat tidak pernah
dilakukan secara per oral karena terlalu toksik. Efek samping nya adalah
iritasi lambung karena gugus karboksilat bersifat asam. Senyawa-senyawa turunan
asam salisilat seperti aspirin, salisilamid, diflunisal lebih banyak digunakan.
Untuk
meningkatkan aktivitas analgesik antipiretik dan mengurangi efek sampingnya
dapat dilakukan dengan 4 jalan yaitu :
a. Mengubah
gugus karboksil melalui pembentukan garam, ester maupun amida. Contoh : metil
salisilat, asetaminosalol, natrium salisilat, kolin salisilat, magnesium
salisilat & salisilamid
b. Substitusi
pada gugus hidroksil.
Contoh : aspirin
(asam aseti salisilat), salisil.
c. Modifikasi
pada gugus karboksil dan hidroksil. Berdasarkan pada prinsip salol, senyawa
secara in vivo akan terhidrolisis menjadi aspirin.
Contoh :
aluminium aspirin dan karbetil salisilat.
d. Memasukkan
gugus OH pada cincin aromatik atau menambah gugus lain. Contoh : diflunisal,
flufenisal, meseklazon.
Hubungan
struktur dan aktivitas pada turunan asam salisilat :
1. Senyawa yang
aktif sebagai antiradang adalah anion salisilat. Gugus karboksilat penting
untuk aktivitas dengan gugus hidroksil harus berdekatan.
2. Turunan
halogen seperti 5-klorsalisilat dapat menambah aktivitas namun memiliki
toksisitas yang lebih besar.
3. Pemasukan
gugus amino pada posisi 4 akan menyebabkan hilangnya aktivitas.
4. Pemasukan
gugus metil pada posisi 3 akan menyebabkan metabolisme gugus asetil menjadi
lebih lambat.
5. Penambahan
gugus aril pada posisi 5 akan meningkatkan aktivitas.
6. Adanya gugus
difluorofenil pada posisi para dengan karboksilat (misal diflunisal) akan
menambah aktivitas analgesik, memperpanjang masa kerja obat dan menghilangkan
efek samping (iritasi saluran cerna).
7. Iritasi
lambung pada aspirin ditujukan pada gugus karboksilat sehingga esterifikasi
gugus akan mengurangi efek iritasi.
2.
Turunan Anilin & para Aminofenol
Turunan
anilin dan p-aminofenol memiliki aktivitas sebagai analgesik antipiretik namun
tidak memiliki aktivitas sebagai antiradang dan antirematik. Efek samping yang
sering terjadi adalah methaemoglobin dan hepatotoksik. Contoh : asetaminofen,
asetanilid, dan fenasetin.
Hubungan
struktur aktivitas pada turunan anilin dan p-aminofenol :
1. Anilin
memiliki aktivitas antipiretik yang tinggi namun efek sampingnya juga besar
karena menyebabkan methaemoglobin (Hb dalam bentuk ferri, tidak dapat berfungsi
membawa oksigen).
2. Substitusi
pada gugus amino mengurangi kebasaan sehingga mengurangi aktivitas dan efek
sampingnya.
3. Turunan
aromatik pada asetanilid dan benzanilid sukar larut dalam air, tidak dapat
membawa cairan tubuh ke reseptor sehingga mengurangi aktivitasnya.
Salisilanilid meskipun tidak memiliki efek antipiretik namun dapat digunakan
sebagai antijamur.
4.
Para-aminofenol merupakan produk metabolit dari anilin dan memiliki toksisitas
lebih rendah namun masih terlalu toksik untuk digunakan sebagai obat sehingga
perlu modifikasi strukturnya.
5. Asetilasi
pada gugus amino pada p-aminofenol dapat mengurangi efek samping.
6. Esterifikasi
pada gugus hidroksi dengan metil (anisidin), etil (fenetidin) meningkatkan efek
analgesik namun karena masih mengandung amina bebas, dapat menyebakan
methaemoglobin.
7. Pemasukan
gugus polar, gugus karboksilat ke dalam inti benzen, akan menghilangkan
aktivitas.
8. Etil eter
dari asetominophen (fenasetin) mempunyai aktivitas analgesik cukup tinggi namun
penggunaan jagka panjang dapat mengakibatkan methaemoglobin, kerusakan ginjal,
dan karsinogenik.
9. Ester
salisilat pada asetaminofen (fenetsal) mengurangi efek toksis dan emnambah
aktivitas analgesik.
3.
Turunan 5-Pirazolon & Pirazolidindion
Mengurangi
rasa skt nyeri kepala, nyeri spasma usus, ginjal, sal empedu&urin,
neuralgia, migrain,dismenerhu, nyeri gigi, nyeri rematik. Efek samping :
agranulositosis pada bbrp kasus dpt berakibat fatal.
Contoh
: antipirin, amidopirin, dan metampiron.
a. Antipirin
(fenazon)
Mempunyai
aktivitas analegsik antipiretik setara dengan asetanilid. Efek samping
agranulositosis lebih besar dan memiliki efek paralisis pada saraf sensorik dan
motorik sehingga digunakan untuk anestesi lokal dan vasokontriksi pada
pengobatan laringitis dan rinitis. Dosis larutan 5-15 %
b. Amidopirin
Memiliki
aktivitas analgesik setara antipirin. Absorbsi obat dalam saluran cerna lebih
cepat dengan waktu paro 2-3 jam dan 25-30% terikat dengan protein plasma.
c. Metampiron
Metampiron
merupakan analgesik yang cukup populer di Indonesia. Metapiron terabsorbsi
cepat dalam saluran cerna dan cepat termetabolisme di hati. Dosis yang
digunakan adalah 50mg 4 kali sehari.
Pada
turunan pirazolidindion memiliki gugus keto pada C3 sehingga dapat membentuk
enol aktif yang mudah terionisasi. Hubungan struktur aktivitas turunan
pirazolidindion
1. Substitusi
atom H pada C4 dengan gugus metil menghilangkan aktivitas antiradang karena
senyawa tidak dapat membentuk gugus enol.
2. Penggantian 1
atom N pada inti pirazolidindion dengan atom O, pemasukan gugus metil dan
halogen pada cincin benzen dan penggantian gugus n-butil dengan gugus alil atau
propol tidak memengaruhi aktivitas antiradang.
3. Penggantian
inti benzen dengan siklopentan atau sikloheksan akan
menghilangkan
aktivitas.
4. Penigkatan
keasaman akan mengurangi efek antiradang dan meningkatkan efek urikosurik.
4.
Turunan Asam N-Arilantranilat
Turunan
asam N-antranilat merupakan analog nitrogen dari asam salisilat. Turunan ini
memiliki antiradang pada pengobatan rematik, mengurangi rasa nyeri pada nyeri
ringan dan moderat. Efek samping iritasi saluran cerna, diare, mual, nyeri
abdominal, anemia, agranulositosis, dan trombositopenia. Contoh : Asam
mefenamat, asam flufenamat, asam meklofenamat
Hubungan
struktur aktivitas turunan asam antranilat :
1. Aktivitas
lebih tinggi jika pada inti benzen yang memunyai atom N dengan posisi
2,3, dan 6.
2. Senyawa yang
aktif adalah turunan senyawa 2,3 disubstitusi.
3.
Memilikiaktivitas lebih tinggi jika gugus pada N-aril di luar koplanaritas asam
antranilat.
4. Struktur
tidak planar tersebut sesuai dengan reseptor hipotetik antiradang.
5. Adanya
substitusi pada o-metil pada asam mefenamat dan o-klor pada asam
meklofenamat meningkatkan aktivitas
analgesik.
6. Penggantian
atom N pada asam mefenamat dengan senyawa isosterik seperti
O,S, CH2 menrurunkan aktivitas.
5.
Turunan Asam Arilasetat & Heteroarilasetat
Turunan
asam arilasetat dan heteroarilasetat memiliki aktivitas cukup tinggi namun efek
samping pada saluran cerna cukup besar. Contoh : diklofenak, ibuprofen,
ketoprofen, fenoprofen, namoksirat, dan fenbufen
Hubungan
struktur aktivitas turunan asam arilasetat dan heteroarilasetat
1. Mempunyai
gugus karboksil atau ekivalennya seperti asam enolat, asma hidroksamat,
sulfonamida, tetrasol yang terpisah oleh 1 atom C dari inti aromatik datar.
2. Adanya gugus
α-metil pada rantai samping asetat dapat meningkatkan aktivitas antiradang.
Contoh : ibufenak tidak mempunyai gugus α-metil dan bersifat hepatotoksik.
Makin panjang rantai C, aktivitas semakin rendah.
3. Adanya
α-substitusi senyawa bersifat optis aktif dan kadang-kadang isomer 1 lebih
aktif dibanding yanglain. Konfigurasi yang aktif adalah bentuk isomer S. Contoh
: S(+) ibuprofen lebih aktif dibanding isomer (-). Sedangkan isomer (+) dan (-)
fenoprofen mempunyai aktivitas yang sama.
4. Mempunyai
gugus hidrofob yang terikat pada C inti aromatik pada posisi meta atau para
dari gugus asetat.
5. Turunan ester
dan amida juga memunyai aktivitas antiradang karena secara in vivo dihidrolisis
menjadi bentuk asamnya.
6.
Turunan Oksikam
Turunan
ini umumnya bersifat asam, mempunyai efek antiradang, analgesik, antipiretik,
efektif untuk pengobatan simtomatik rematik atritis, osteoartritis, dan
antipirai.
Contoh
: piroksisam & tenoksisam.
a.Piroksisam
Piroksisam
memilikiefek analgesik, antirematik, antiradang setara dengan indometasin
dengan masa kerja yang cukup panjang. Piroksisam memiliki efek samping iritasi
saluran cerna yang cukup besar. Piroksisam terserap dengan baik pada saluran
cerna, 99% obat terikat pada protein plasma. Kadar tertinggi plasma pada 3-5
jam setelah pemberian oral dengan waktu paro plasma 30-60 jam.
b.Tenoksisam
Tenoksisam
mempunyai aktivitas antiradang , analgesik-antipiretik dan juga menghambat
agregasi platelet. Tenoksisam terutama digunakan untuk mengurangi rasa nyeri
akibat keradangan dan kelainan degeneratif pada sistem otot rangka. Efek
iritasi saluran cerna cukup besar dengan waktu paro 72 jam.
Daftar Pustaka
Dewoto, H. R. (2008) ‘Analgesik Opioid dan Antagonis dalam’, Farmakologi dan Therapi. 5th edn. Edited by S. G. Gunawan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,p. 210.
Tjay dan K .Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta; PT Elex Media Komputindo.
Permasalahan: :
1. Apakah perbedaan mendasar antara Analgetik Narkotik & Analgetik Non-
narkotik ?
2. Bagaimanakah
Mekanisme terjadinya nyeri ?
3. Bagaimanakah
Pengaruh Analgetik secara Farmakokinetik ?
4. Bagaimanakah
Pengaruh Analgetik secara Farmakodinamik ?